Sabtu, 26 Maret 2011

Bab 1 Chapter 3

Maaf kan aku. Aku kira kau adalah ayahku. Aku buru-buru. Selamat tinggal.
            Hanya itu yang dapat ia pikirkan sekarang. Meski sudah dua minggu berlalu, kata-kata itu masih terngiang di pikiran Satsuki. Gambaran gadis stasiun kereta yang bertemu tanpa disengaja. Ia hanya bertopang dagu memandang kelas yang begitu menjemukkannya. Di depannya duduk anak sombong yang sering mengejeknya. Betapa menjengkelkannya setipa hari harus bertemu dengannya. Satsuki menatap kaca jendela besar disampingnya. Ia melihat burung terbang bebas disana. Dapatkah aku bebas seperti mereka? Tanyanya dalam hati.
            “Bolehkan aku duduk disini, Ichikawa?” suara lembut gadis membuyarkan lamunannya. Siapa? Gadis staiun kereta itukah? Tidak, tidak mungkin, tapi suaranya hampir mirip. Apa salahnya untuk menerka. Satsuki menoleh untuk memastikan, jantungnya berdebar. Siapa gerangan gadis di hadapannya?
            Satsuki menoleh dan kecewa. Ternyata bukan. Gadis di hadapannya memang hampir mirip dengan gadis stasiun kereta yang bertemu dengannya. Tapi rambut gadis dihadapannya hitam bukan coklat seperti gadis itu. Matanya juga coklat bukan biru seperti yang ia lihat disana. Ia tampak kecewa dan berkata seakan membalas tatapan heran gadis itu.
            “Tentu saja. Silahkan.”
            Gadis itu duduk dan mulai menyiapkan peralatannya. Satsuki tak peduli. Ia melanjutkan memandang jendela dengan bertopang dagu. Kapan hari ini akan berakhir? Pikirnya.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
            Diam saja. Itulah ekspresi awal dari teman sebangkunya. Ia tak berkata apapun selama pelajaran. Ia tampak serius dan tak peduli. Tapi anehnya, saat ia ditanya oleh pak Guru ia selalu bisa menjawab. Anak itu diam saja tampak cuek dengan keadaan sekitarnya. Akane mencuri pandang ke rahnya lelaki itu. Ia ingin tahu apa yang sebenarnya cowok itu pikirkan, wajahnya tampak tenang tapi tak bisa menyembunyikan guratan kesdihan yang terpantul dari wajah cueknya itu.
            “Hai namaku Kusaka Hondo, aku anak pejabat tinggi di daerah ini. Sayang sekali, gadis secantik kau harus duduk bersebelahan dengan anak pemabuk ini...” kata cowok di depan Satsuki mengejek. Siapa anak cowok ini? Terlihat sombong sekali, padahal aku sama sekali tak menanyai siapa namanya, pikir Akane.
            “Oh, begitu... Salam kenal juga. Panggil saja aku Akane.” Kata Akane sambil mengulurkan tangannya dan lelaki tersebut menyambutnya.
            “Ya, Aku tahu. Nasibmu sungguh aneh sekali harus duduk bersebelahan dengannya. Anak pemabuk ini.” Kata cowok tersebut sekali lagi sambil menunjuk ke arah Satsuki. Akane berfikir, apa maksudnya anak pemabuk? Apakah Satsuki itu seorang pemabuk ya? Tapi kalau dilihat dari kenyataan, mana mungkin anak sepintar dia adalah pemabuk. Ia memandang Satsuki sesaat. Wajahnya tetap dingin tanpa ada ekspresi sama sekali.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
            Sepi. Hari ini tetap sama saja seperti kemarin. Di rumahnya tak ada siapa-siapa kecuali adiknya. Satsuki menaruh tasnya dan berjalan menaiki tangga menuju kamar adiknya yang ada di ruang atas. Ia mengetuk pintu kamar adiknya tapi tak ada jawaban dari dalam.
            “Hazuki, kakak boleh masuk?” katanya sambil mengetuk pintu kamar adiknya. Ia mengetuk sekali lagi tetapi tetap tak ada jawaban dari dalam.
            “Kalau tidak menjawab, aku masuk ya...?” kata Satsuki lagi. Tetap tak ada jawaban dari dalam.
            Satsuki mendesah. Ia bingung harus bagaimana memperlakukan adik semata wayangnya itu. Pelan-pelan ia membuka pintu kamar Hazuki. Ia melihat gadis berambut sebahu itu duduk di meja belajarnya dan memandang jendela yang ada di depannya. Gadis itu sama sekali tidak terkejut dengan kedatangan kakaknya.
            “Hari ini, kau tidak kemana-mana lagi ya? Apaka tidak bosan terus-terusan di kamar?” kata Satsuki sambil duduk di kasur Hazuki.
            Ia memandangi adiknya. Gadis itu tetap diam. Ia tetap memandangi jendela di hadapannya. Tanpa ada sepatah kata pun terucap dari mulutnya bahkan mendesahpun tidak. Ia bagaikan patung hidup yang menatap jendela.
            Satsuki tahu sejak adiknya berumur 10 tahun, Hazuki telah menutup segala sesuatu tentang dirinya dari orang banyak. Ia sebenarnya tidak bisu, ia bahkan tak pernah bersikap dingin sebelumnya. Ia selalu bersikap ceria seperti halnya anak gadis lainnya samapi kejadian 3 tahun lalu membuat Hazuki trauma. Satsuki sendiri tak tahu bagaimana kejadiaanya karena Hazuki sama sekali tak pernah mau bercerita atau berbicara sejak kejadian itu. Ia hanya diberi tahu ibunya bahwa Hazuki mungkin trauma dengan perlakuan ayahnya. Sejak hari itu, ia jarang pergi ke sekolah. Ia terbiasa mengurung dirinya di kamar seharian.
            “Hari ini Hazuki mau makan apa? Nanti akan kakak belikan.” Ucap Satsuki sambil menatap adiknya. Tetap saja tak ada respon yang berarti.
            “Aku belikan ayam goreng mau?” tanya Satsuki. Hazuki tetap diam mematung tanpa mengeluarkan suara sedikit pun.
            “Kalau tak menjawab, ku anggap kau mengiyakan.” Kata Satsuki menyerah. Ia tetap tak bisa membuat Hazuki bicara. Satsuki beranjak dari tempat tidur dan berjalan menuju pintu. Ia berbalik melirik Hazuki, tetap tak ada respon sama sekali. Satsuki mendesah sambil membuka pintu kamar Hazuki.
            Satu hal yang luput dari penglihatan Satsuki adalah ia tak sadar bahwa tetes air mata Hazuki jatuh membasahi lantai.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Arsip Blog